Senin, 06 Juli
2012
Mentari mulai menapaki singgasana
tertinggi saat motorku telah sampai wilayah kabupaten Trenggalek, pesisir
selatan provinsi Jawa Timur. Tepat sebelum kumandang dzuhur, aku menepi pada
sebuah masjid. Sejenak melepas lelah setelah 5 jam memutar gas motor, sekalian
mengisi absensi pada Yang Maha Kuasa. 30 menit istirahat dan sholat, aku
melanjutkan perjalanan. Dari pusat kota Trenggalek, masih 37 kilometer lagi
jarak yang harus kutempuh. Ya, kampung halamanku memang agak pelosok.
Transportasi umum ke kampungku
hanya sampai di kota kecamatan. Sedangkan kampungku berjarak 7 kilometer dari
kota kecamatan. Jarak tersebut dulu ditempuh dengan jalan kaki. Namun kini bisa
menumpang pengendara motor yang melintas, karena sudah banyak warga yang
memiliki motor. Kota kecamatan ini berubah menjadi pasar tiap 5 hari sekali,
tepatnya pada hari pasaran kliwon menurut perhitungan orang jawa. Waktu aku TK,
pergi ke pasar masih ditempuh jalan kali. Kini sudah banyak kendaraan “pick up
L-300” dengan bak terbuka yang digunakan untuk transportasi orang ke dan pulang
dari pasar tiap hari kliwon.
Sangat bersyukur rasanya kini
kampungku mulai maju. Jalan desa sudah dibangun dengan cor beton. Kami
menamainya “rabatan beton”. Dulu, jalan masih berupa makadam. Itu lho, jalan
yang berupa tumpukan batu yang ditata menutupi tanah disepanjang jalan.
Jangankan untuk kendaraan bermotor, untuk jalan kaki saja susah. Pada beberapa
bagian jalan juga masih berupa tanah yang licin saat hujan dan berdebu saat
kemarau.
***
Terik mentari sudah tak terasa lagi.
Bukan kerena sore menjelang, tapi karena dingin menerjang. Aku telah sampai di
rumah kakek dan nenekku. Senyum teduh itu mulai tua, namun tetap menyambutku
dengan haru. Keharuan yang sama saat aku pulang pada libur semester enam bulan
yang lalu. Aku menghambur dan menyambut tangan beliau penuh hormat. Kucium
tangan dengan guratan mulia itu, “Pripun
Mbok kabaripun?”. (SM)